JUARA, EUY!



Dua tahun lalu saya dihadapkan dengan dilema anak SMA yaitu kemana akan melanjutkan studi. Otak saya harus bisa memilih antara UGM atau Unpad. Setelah berlibur dan bermalam beberapa hari di Jogjakarta, saya mulai merasakan keinginan yang luar biasa untuk kuliah di... Bandung. Ada tiga alasan kuat saya mengapa memilih Bandung. Yang pertama, Jogja (sangat) panas (alasan ini saya pilih diantara ratusan alasan yang mungkin akan membuat saya bernasib sama dengan Florence Sihombing jika saya utarakan). Yang kedua, saya ingin dipimpin oleh Ridwan Kamil. Dan ketiga, saya ingin menonton PERSIB secara langsung. Well, untuk yang ketiga nampaknya masih jauh dari kata terlaksana karena ternyata musim ini PERSIB menggunakan stadion Si Jalak Harupat Soreang sebagai kandang dan mulai musim depan menggunakan stadion GBLA di Gedebage yang (baru saya tau belakangan) ternyata jauh, bingits. Dua tahun berlalu dan akhirnya, saya pun resmi menjadi mahasiswa FH UNPAD... yang Alhamdulillah masih (dan semoga seterusya) bertempat di Bandung.

Tuhan saya pernah berfirman untuk meninggalkan urusan duniawi ketika mendengar suara adzan, namun nampaknya pesan itu gagal diajarkan kepada seluruh umat oleh ustadz sekaliber Felix Siauw sekalipun. Dan pada tanggal 7 November lalu warga Bandung menerapkan konsep ajaran tersebut dengan ibadah yang lain. Jalanan nampaknya lupa bahwa malam itu adalah malam minggu, ia yang biasanya dibisingkan oleh adu merdu suara klakson menjadi kosong bak daftar absensi anggota DPR. Ketika wasit Prasetyo Hadi meniup pluit tanda dimulainya pertarungan akhir ISL 2014 di Jakabaring, seluruh warga Bandung yang tidak berkesempatan beribadah langsung ke Palembang menanggalkan semua aktivitas “duniawi”nya dan mulai khusyuk di depan layar sembari membiarkan jiwanya terhanyut di sungai musi.

Saya sendiri cukup beruntung dapat khusyuk beribadah berjamaah selama 2 jam lebih walau dibawah guyuran hujan di depan air mancur kampus Unpad Iwa Kusumasumantri, saya bersama puluhan atau mungkin ratusan saudara seiman berulang kali berteriak dan menyanyi di tengah peribadatan tersebut.
  
“I Made! I Made! I Made!
Berulang kali nama tersebut diteriakkan, yang disebut namanya seakan menjadi sosok paling diharapkan oleh jutaan manusia berhati biru. Hingga ketika tendangan Nelson Alom berhasil ditangkis, saat itu pula venue peribadatan kami pecah. Teriakan semua orang menjadi satu. Dan ketika Ahmad Jufryanto berhasil mengeksekusi penalti, kami orgasme. Ya. Orgasme.

Apa yang lebih melegakan sekaligus mengharukan daripada kedatangan sesuatu yang sudah dinanti selama 19 tahun? Bahkan penantian itu lebih panjang dari umur saya. Maka jangan heran jika mereka yang bertatto dan berbadan macho meneteskan air mata malam itu. Air mata... Bahagia? Lega? Haru? Ah, saya yakin mereka juga tidak dapat menjelaskannya.

Setelah tendangan penentu tersebut jalanan kota Bandung baru hidup. Hidup yang jauh lebih hidup. Ratusan bahkan ribuan warga tumpah ruah di jalanan. Mulai dari pria bertatto, ibu-ibu menyusui, hingga mahasiswa jomblo memasang wajah ceria di jalanan. Bagi kaum yang disebut belakangan, ini juga penantian yang panjang dimana mereka dapat keluar dari kamarnya dengan wajah ceria di malam weekend. Ya, impian yang menjadi nyata itu berhasil menyatukan semua golongan.

Jalanan Bandung benar benar pecah, mereka yang berkendara berkonvoi dengan memainkan klakson, mereka yang berjalan kaki menyanyi sepanjang jalan bak segerombolan pemuda mabuk dua botol vodka. Di tengah hiruk pikuk euforia yang membuncah itu, saya sendiri menjadi saksi dua momen yang tak akan pernah saya buang dari otak. Yang pertama adalah momen dimana segerombolan pengendara motor sedang berkonvoi dan segerombolan pejalan kaki akan menyebrangi jalan, para pejalan kaki menghentikan pengendara motor untuk.... bernyanyi bersama. Saya yakin diantara mereka tidak saling kenal bahkan bisa saja mereka mendukung kesebelasan eropa yang berbeda atau bahkan anggota geng motor yang bermusuhan. Namun malam itu semua saudara. Cukup dengan mengepalkan tangan dan berteriak lantang “Juara!”, anda sudah dianggap sebagai keluarga. Sebelumnya saya juga sering menonton momen bernyanyi bersama di tengah jalan tersebut di rekaman video, namun menonton atau bahkan merasakan secara langsung benar-benar membuat saya terharu dan speechless. Lalu momen kedua yang saya rekam jelas di kepala adalah ketika seorang tukang parkir berjoged dan bernyanyi sendirian di pinggir jalan. Momen ini jelas menggelitik sekaligus mengharukan, mamang parkir yang mungkin selama 19 tahun hanya terjebak dalam rutinitas menata kendaraan yang datang pergi sontak bertransformasi menjadi anak kecil yang mendapat mobil remote control hasil merayu sang ayah sembari menangis sesenggukan. Ia melepas rompi parkir dan berjoged serta berteriak “Juara!” kepada rombongan manapun yang melintas di depannya. Dan saya kembali speechless.

Sepanjang bulan menemani malam di kota kembang, jalanan menampung ribuan tetes airmata haru, kecup syukur sujud manusia, nyanyian lagu juara. Semua orang dibuat mabuk, mabuk euforia dan beberapa menambahkannya dengan mabuk alkohol. Udara dipenuhi ucap syukur kepada Tuhan maupun kata-kata kasar, orang punya cara bersyukur masing-masing. Dan keesokan harinya omzet tukang cukur naik berlipat-lipat ganda.

Penantian selama 19 tahun warga Bandung dan manusia berhati biru lainnya terjawab malam itu. Dan semesta menghendaki saya untuk turut serta di dalamnya. Tentu momen menang itu akan terus saya kenang. Memori eufora Jakabaring akan selalu saya susun rapi di otak dan hati. Momen yang tidak saya abadikan melainkan dengan otak dan hati. Dan meminjam kata Sean O’Connol dalam dialognya dengan Walter Mitty pada salah satu adegan di The Secret Life Of Walter Mitty, “If I like a moment, for me, personally, I don't like to have the distraction of the camera. I just want to stay in it.”

Ceuk aing oge naon, PERSIB aing pasti Juara!


2 komentar: